Kamis, 04 Desember 2014
PEMBUNUH PERASAAN
Diposting oleh ☼°•●»ηùε«●•°☼ di 18.49 0 komentar
Rabu, 06 Agustus 2014
Meranaaaaa.....
Diposting oleh ☼°•●»ηùε«●•°☼ di 21.05 0 komentar
Kamis, 03 Juli 2014
Karya Gue Nehhh!!! (2)
Diposting oleh ☼°•●»ηùε«●•°☼ di 19.12 0 komentar
Minggu, 02 Maret 2014
Tak bisa memiliki
Jadikan aku yang kedua, Buatlah diriku bahagia, Walaupun kau takkan pernah, Kumiliki selamanya….. “DIIIAAAAAAAAAAAAAAAAMMMMMMMMMM…” Teriak Inue lantang pada kakaknya Eru. Selengkapnya... Bukan tanpa alasan adiknya yang biasa bersikap lembut itu kini tampak garang seperti harimau kelaparan. Ia gemes melihat tingkah kakaknya yang dari hari kehari semakin membuatnya jengkel bukan kepalang. Meski sebenarnya apa yang dilakukan Eru hanyalah hal biasa, menyayi dan bersenandung lagu-lagu yang paling Inue benci. Lagu tentang cinta, siapa pun penyanyinya, judulnya, jika itu berhubungan dengan cinta atau perselingkuhan, Inue sangat benci. Berkali-kali ia melarang Eru untuk tidak bernyanyi di dekatnya, tapi kakaknya yang memang super bandel plus ngeyel itu paling doyan membuat Inue jengkel, bisa ditebak rumah yang dulunya aman, damai, tentram, dan sehat sentosa itu kini berubah seperti neraka, tentu saja itu hanya bagi Inue. “Abang itu emang senang ya melihat aku menderita??? Hah???” Inue mulai menangis. Rasanya sudah tidak tahan selalu diejek seperti ini. Pikirannya memang sedang galau, stress, perasaan benci, sakit hati, cemburu, marah bergumul, memberontak. Hatinya perih setiap kali mendengar lagu-lagu yang sepertinya dibuat seolah untuk menyindir dirinya. Kali ini Eru diam, ditanya seperti itu oleh adik semata wayangnya sambil berlinang air mata jadinya trenyuh juga, ia menunduk. “Maaf. Tapi abang nggak nyangka dede jadi semarah ini. Setahu abang, dede gadis yang tegar. Udah ya, jangan nangis lagi, abang janji nggak bakal nyanyi lagu-lagu sedih lagi.” Eru berusaha menghibur adiknya. “AKU BENCI ABANG…” Sudah tak tahan, ia menghambur lari menuju kamarnya. Dibantingnya pintu kamar kuat-kuat, menimbulkan bunyi keras. “Ternyata dede benar-benar mencintai cowok itu.” Batin Eru mengeluh. *** “Kita bubar saja.” Ujar Inue berusaha tetap tegar meski dalam hatinya menangis. “Tapi Nue, aku masih sayang kamu. Tolong, pikir-pikir lagi.” Pinta Bintang memohon. Jujur, ia belum siap kehilangan Inue yang selama ini selalu menemani hari-harinya. “Buat apa? Supaya aku bisa terus menderita? Supaya kamu bisa liat aku terus tersiksa? Cukup, aku nggak sanggup lagi.” Bintang menatap mata Inue, tampaknya gadis itu tidak main-main. Sangat jelas api itu berkobar disana. “Aku tahu, kamu masih sayang aku. Jadi buat apa? Kenapa kamu ingin mengakhiri ini semua?” Bintang mencoba membujuk. Sama halnya dengan Bintang yang bersikeras untuk tetap mempertahankan hubungan mereka, Inue juga bersikeras untuk mengakhiri hubungan yang sudah mereka bina selama enam bulan itu. “Percuma. Cintaku sudah mati. Nggak ada gunanya. Aku capek.” “Tapi Nue…” “Sudahlah. Ikhlaskan. Aku menderita, sakit. Bahkan hampir Gila. Jadi biarkan aku pergi.” Separuh jiwaku, pergi Memang indah semua, tapi berakhir luka Keputusan Inue untuk mengakhiri hubungan mereka memang sudah terpikirkan sejak lama, bukan karena ia tidak mencintai Bintang lagi. Justru sebaliknya, cinta itu tumbuh subur, dan ia tak sanggup untuk menahan rasa sakit akibat derita dan dilema cinta yang dialaminya. Ia mencintai orang yang salah, seseorang yang sudah memiliki pacar. Dan ia sadar, betapa ia terlalu bodoh, kenapa begitu tergila-gilanya pada orang yang sudah punya pacar. Memang bukan salah bintang sepenuhnya, toh saat itu Inue sendiri masih berpacaran dengan Hendra, dan mereka masing-masing mengakui bahwa mereka sudah punya pacar. Hanya saja, hubungan yang berawal dari iseng itu justru berlanjut, Inue sendiri lebih memilih Bintang dan memutuskan Hendra. Namun siapa sangka, mencintai Bintang justru membuatnya menderita, karena Bintang sendiri hingga kini masih berhubungan dengan pacarnya. Tentu saja itu tidak adil bagi Inue, karena statusnya sekarang jelas-jelas hanya selingkuhan. Kuakui kusangat-sangat menginginkanmu Tapi kini kusadar ku diantara kalian Aku tak mengerti,ini semua harus terjadi Lupakan aku, kembali padanya, Aku bukan siapa-siapa untukmu, Kucintaimu tak berarti bahwa kuharus memilikimu slamanya Inue sudah seperti orang linglung, tiap hari kerjaannya hanya melamun, melamun, dan melamun. Itu sebabnya Eru tak tega melihat adik semata wayangnya itu menderita, merana, dan tersiksa. Ia ingin membantu adiknya, tentu saja membantu melupakan bintang, karena Bintanglah yang telah membuat adiknya yang dulu selalu ceria itu kini terpuruk, di pikirannya hanya ada Bintang. Tapi Eru bingung, karena Inue sendiri tak ingin abangnya ikut campur, apa pun yang dialami adiknya. Itu pinta Inue saat Eru dengan terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya dengan hubungan terlarang mereka. Dan kini, saat adiknya mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaannya, ada perasaan lega di hati Eru, meski ia sadar adiknya tidak seceria dulu lagi. Lebih suka mengurung diri, wajahnya semakin murung, hobbynya yang dulu suka main Playstasion dengannya kini beralih, menjadi pelamun sejati. Yah, paling tidak kini adiknya bisa terbebas dari rasa bersalah, egois dan terkekang oleh harapan yang tak kunjung datang, harapan dan keinginan memiliki Bintang. “Waktu akan mengubah semuanya. Dede pasti bisa…” Ujar Eru memberi semangat. Namun Inue hanya memberikan senyuman tipis, tepatnya senyuman sinis. “Abang kira semudah itu? Bintang udah nyuri hati aku, bang. Bintang yang buat aku mabuk kepayang. Dia udah buat aku ngerasain indahnya cinta, Aku sayang dia.” Inue mulai menangis, ditutupnya wajah sendunya, dan melanjutkan keluh kesahnya, “Dia yang buat aku pisah sama Hendra, dia yang mampu buat aku ngelupain Hendra, dia yang udah gantiin posisinya Hendra. Dan sekarang? Sia-sia aku memilihnya. Sakit bang, rasanya nggak ada artinya aku hidup. Aku sudah mati rasa. Aku nggak bisa ngelupain Bintang. Percuma kalau aku hidup tanpa cinta, tanpa Bintang. Percuma.” Sesal Nue semakin terisak. Lepaskanlah, ikatanmu Dengar aku, biar kamu senang Bila berat, melupakan aku, pelan-pelan saja… Melihat air mata itu mengalir semakin deras, Eru jadi miris. Ingin rasanya ia mendatangi Bintang, memaksanya untuk memutuskan pacarnya, dan memilih Inue sebagai kekasihnya. Munafik memang, melakukan itu sama saja dengan menjilat ludah sendiri. Ia yang dulu sangat tidak menyetujui hubungan terlarang itu,dan kalau sekarang ia harus bertindak bodoh, itu karena tak tega melihat adik semata wayangnya bermuram durja. Bagaikan buah simalalakama, hidup enggan mati tak mau. Serpihan hati ini, kupeluk erat Akan kubawa, sampai kumati Memendam rasa ini, sendirian Ku tak tahu mengapa aku tak bisa, melupakanmu…. *** “Tapi itu sudah jadi keputusan Inue sendiri, bukan aku yang mau. Bagaimana pun aku memohon, dia tetap bersikukuh untuk pisah.” Jelas Bintang ketika Eru memintanya untuk balikan dengan Inue. “Itu karena kamu nggak pisah juga sama cewekmu itu. Padahal Inue udah mutusin pacarnya.” “Aku tahu, tapi nggak semudah itu, Ru. Orang tua kami sudah saling kenal, aku bingung harus bilang apa. Lagipula aku tidak yakin hubunganku dengan adikmu berhasil atau tidak. Setelah kupikir-pikir, memang ada baiknya kami bubar. Dengan begitu, Inue juga tidak menderita.” “Tapi yang aku lihat, setelah kalian berpisah, ia semakin menderita. Aku yakin, ia sebenarnya tidak ingin melepaskanmu. Hanya karena dia sudah tidak sanggup lagi, itu sebabnya Inue lebih memilih pisah denganmu.” “Ngertiin keadaanku. Aku nggak bisa semudah itu mutusin hubunganku dengan pacarku.” “Itu karena lo egois, lo pengecut.” “Terserah kamu mau ngomong apa. Yang jelas, aku minta maaf, aku nggk bisa jagain adikmu lagi.” Bintang berlalu, meninggalkan Eru yang masih termangu. Dalam hati, Bintang sendiri tak pernah rela melepaskan Inue dari sisinya. Namun keputusan untuk berpisah memang jalan terbaik. Mencintai bukan berarti harus memiliki. Aku tak bisa memiliki, menjaga cintamu Walau sesungguhnya hatiku, Mencintaimu, memilikimu Aku tak ingin kau terluka, mencintai aku Hapuslah air matamu, dan lupakan aku…. Sudah sebulan sejak perpisahan itu, baik perasaan Inue maupun Bintang sendiri masih sama, cinta di hati tak kunjung pergi, padahal penderitaan itu sangat menyiksa,terutama bagi Inue sendiri yang hingga kini belum bisa menerima kenyataan bahwa Bintang bukan miliknya lagi. Meski kesibukan selalu menyita waktunya, bayangan dan memory indah tentang mereka tak pernah luput dari ingatannya. Selalu menghantui disetiap geriknya, setiap hembusan nafasnya. Dan itu membuat Inue lelah, lahir batin. “Cuma mau bilang, seperti apa pun keadaan kita sekarang. Aku masih sayang sama dirimu. Aku nggak peduli apa akibatnya aku ngomong kayak gini, Cuma mau nyampein perasaanku saja, paling nggak bisa sedikit buat lebih tenang.” Saat Inue sudah pasrah, saat ia telah lelah berpikir, pesan singkat itu berbicara. Membuatnya sedikit tersenyum, meski ia tahu, pesan itu tidak akan merubah apa-apa. Paling tidak, perasaannya bisa sedikit lega. Ternyata cinta di hati Bintang masih hidup. Walau hanya separuh nafas. Meski raga ini tak lagi milikmu, Namun di dalam hatiku sungguh engkau hidup Entah sampai kapan, kutahankan rasa cinta ini, Jauh di lubuk hatiku, masih terukir namamu, Jauh di dasar jiwaku, engkau masih kekasihku…
Diposting oleh ☼°•●»ηùε«●•°☼ di 23.39 0 komentar
Minggu, 24 November 2013
Cerita Fina
Boleh dikata saya
ini memang pacar yang nggak pernah ngerti perasaan pasangan sendiri. Rony yang
sudah sejak setengah bulan lalu mengisi kekosongan saya ternyata masih belum
bisa membuat tabiat buruk saya sebagai gadis tomboy berubah. Saya yang punya
teman mayoritas laki-laki dari pada perempuan ternyata membuat Rony cemburu.
Bagaimana tidak, waktu luang yang saya habiskan justru lebih banyak bersama
mereka, sedangkan Rony yang selalu setia saat saya perlukan hanya bisa
geleng-geleng kepala. Selengkapnya...
Hendra dan Runa adalah sahabat saya yang selalu ingin menemani saya dimanapun berada, tentunya tidak saat saya bersama Rony. Kepribadian mereka yang sama dengan saya membuat kami selalu kompak dalam berbagai hal, dan lagi-lagi itu membuat Rony semakin cemburu.
“Saya nggak suka kamu sering-sering bersama mereka.” Ungkap Rony jujur membuat saya sangat terkejut.
Rony memang punya hak untuk melarang saya untuk tidak selalu menemani Hendra maupun Runa, tapi kejujuran Rony membuat saya sedikit syock Saya sudah terlanjur menyayangi mereka, walaupun itu bukan berarti saya menyukai keduanya.
“Saya nggak bisa, mereka itu sahabat saya. Konsekuensinya kan kamu sudah tahu, persahabatan saya dengan mereka itu sangat penting bagi saya.” Balas saya sengit.
Tampaknya Rony juga terkejut mendengar apa yang barusan saya katakan, ia memegang tangan saya erat. Tatapannya sendu seolah berkata aku mohon Fina.
“Yang saya tahu kamu lebih memperhatikan mereka daripada saya. Bukannya saya egois, tapi perlakuan kamu itu tidak adil.” Ujarnya memelas.
Apakah saya memang sejahat itu, sehingga Rony memohon dengan teramat sangat agar saya bisa berlaku adil? Saya tak tahu lagi harus berkata apa, yang jelas ini terlalu mendadak buat saya.
Rony melepaskan tangan saya kemudian menjauh pergi dengan tertunduk lesu.
Ia berbalik, kemudian berkata sambil tersenyum kecut.
“Saya sudah tahu jawaban kamu Fin.”
Kali ini penuturan Rony membuat saya terenyuh, perih hati saya mendengarnya. Saya sangat menyukai Rony, tapi tidak bisa membuatnya bahagia. Padahal ia begitu mencintai saya, ia pengertian, dan terlalu baik buat saya.
***
“Kok kamu lesu gitu, ada masalah ya?” tanya Hendra membuyarkan lamunan saya.
Saya menggeleng lemah, mereka tidak boleh tahu masalah saya. Karena ini berhubungan dengan mereka.
Runa menghampiri saya kemudian menyerahkan dua kaleng minuman kepada saya dan Hendra. “Akhir-akhir ini kamu jarang ketumu Rony, lagi marahan ya?” tanya Runa penasaran.
Saya menggeleng untuk yang kedua kalinya.
“Nggak ada masalah apa-apa. Saya hanya lagi nggak enak badan.” Ujar saya berbohong.
“Gitu, tapi Rony kenapa nggak pernah nyamperin kamu lagi?” Hendra menatap saya lekat-lekat seolah ingin menemukan sendiri jawaban dari mata saya.
“Dia lagi sibuk.” Jawab saya singkat. Saya berdiri meninggalkan mereka yang masih penasaran ingin mendengar alasan saya. Saya menuju perpustakaan untuk menenangkan diri, duduk menyendiri di pojok ruangan lalu membaca buku. Rasanya tidak ada yang masuk di otak saya, bayangan Rony selalu berputar di otak ini, sambil berkata, “ Saya nggak suka kamu sering-sering bersama mereka.”
Sudah seminggu berlalu sejak pertemuan terakhir itu, dan Rony sudah tidak pernah lagi terlihat oleh saya, ia seolah menjauhkan diri. Setiap kali saya datang ke kelasnya ia tak pernah ada. Walaupun setiap kali pelajaran dimulai ia tak pernah absen, tapi saat istirahat tiba ia seolah menghilang, kemudian muncul lagi saat bel masuk berbunyi.
“Hai Fin. Tumben kamu datang ke sini, bukannya kamu itu anti banget baca buku di perpustakaan?” tanya seseorang mengagetkan lamunan saya. Saya berbalik, Monika sahabat saya yang paling ceriwis itu memang selalu ada di mana-mana, di kantin, koperasi, atau di perpustakaan sekalipun, selalu menjadi tempat faforitnya untuk menyalurkan hobby-nya ngegosip.
“Nggak ada Undang-Undang yang larang saya untuk ke sini kan?” tanya saya balik.
Monika tersenyum, kemudian mengangguk pelan.
“Emang nggak ada, Cuma aneh aja sih. Ngomong-ngomong, bodyguard mu pada kemana sih, kok nggak kelihatan?” Monika clingak-clinguk ingin menemukan sosok Hendra dan Runa yang biasanya selalu bersama saya. “ Kayaknya nggak seru aja kalau mereka berdua itu nggak ada.” Lanjutnya.
“Mereka di kelas, saya sengaja nggak sama-sama mereka, pengen refresing aja.” Jawab saya tanpa mengalihkan pandangan dari novel di hadapan saya.
“Jadi kamu merasa nggak nyaman setiap kali bersama mereka? Sampai-sampai pengen refresing segala.”
“Bukan begitu, saya cuma nggak pengen mereka tahu masalah saya, makanya saya menjauh.” Entah kenapa saya ingin menceritakan semua masalah saya pada Monika, saya bingung, rasanya tidak tenang jika Monika tidak tahu masalah saya. Karena selama ini, hanya Monika sajalah tempat saya menumpahkan keluh kesah saya, dan dia selalu bisa menyelesaikan persoalan yang saya hadapi.
Saya menatap wajah Monika erat, kemudian mendesah keras.
“Akibat kedekatan saya dengan mereka, hubungan saya dengan Roni berantakan. Padahal selama ini nggak pernah ada masalah, dia selalu paham dengan keadaan saya yang nggak bisa lepas dengan Hendra dan Runa. Tapi belakangan ini dia jadi cemburuan. Saya nggak tahu apakah itu salah saya atau dia yang memang kelewatan karena ingin mengekang saya?”
Monika diam, seperti sedang berpikir.
“Kamu sayang banget sama Roni?” tanya Monika setelah berpikir sejaenak.
Saya mengangguk pelan tapi pasti.
“Lalu kenapa kamu nggak pernah mau mengerti perasaannya? Dia nggak pernah marah dengan persahabatan kalian, bahkan dia mendukung. Masalahnya kamu justru memanfaatkan kepercayaan Roni hingga kamu lupa bahwa kesabaran Roni juga ada batasnya kan?”
Monika benar, saya memang sudah kelewatan karena sudah membuat Roni sakit hati. Saya paham itu, tapi nggak mudah bagi saya menjelaskan semuanya pada Hendra dan Runa. Mereka pasti tidak setuju.
“Sekarang terserah kamu saja, mana yang menurut kamu baik.” Lanjut Monika. Ia berdiri kemudian meninggalkan saya menjauh.
***
Sepertinya ada yang eneh dengan Hendra dan Runa hari ini, tak seperti biasanya mereka tak banyak bicara. Jangan kan bercanda atau sekedar melakukan lelucan, mengobrol ringan saja tampaknya mereka enggan, dan itu membuat saya semakin penasaran. Wajah lesu mereka menandakan mereka juga mempunyai masalah, tapi mereka tak mau jujur dengan saya.
Malam harinya juga tidak datang, padahal mereka tidak pernah telat. Kami selalu kumpul di kafetaria, tempat faforit kami saat malam hari. Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya saya memutuskan untuk pulang. Namun saat di depan pintu saya menemukan sosok Roni yang sedang menuju ke arah saya sambil tersenyum manis.
“Sudah mau pulang?” tegur Roni pada saya yang masih tak percaya dengan apa yang saya lihat. “ Ada yang mau saya bicarakan, kamu nggak lagi sibuk kan?” sambungnya.
Saya menggeleng, ia kemudian meuntun saya masuk dan duduk di kursi.
“Jika saya masih punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita, izinkan saya untuk mengucap maaf.” Tuturnya memulai pembicaraan.
Ia memegang kedua tangan saya, kemudian meletakkan sebuah kotak kecil di telapak tangan saya.
“Dan cincin ini sabagai saksi dari ucapan saya.” Ia membuka kotak kecil yang berisi sebuah Cincin berhiaskan permata kecil warna pitih. Cincin itu sangat indah, dan saat ia memasukkannya di jari manis saya rasanya seakan membuat hati saya berbunga-bunga.
Saya begitu terharu hingga tak terasa butiran air mata mulai membasahi kedua pipi saya.
“Saya lah yang seharusnya minta maaf, karena tidak bisa membuat kamu bahagia. Saya nggak pernah mau tahu tentang perasaan kamu yang terluka saat saya lebih mementingkan sahabat dari pada kamu.” Roni memeluk saya erat, seolah tak ingin melepaskan saya lagi.
“Kami berdua yang salah dan seharusnya kamilah yang minta maaf.” Seseorang berkata dengan sangat menyesal dari samping kami.
Mendengar itu Roni melepas rangkulannya. Hendra, Runa, dan Monika berdiri di hadapan kami. Tampaknya mereka mendengar pembicaraan kami, atau mungkin mereka yang justru merencanakan pertemuan kami ini.
“Sedang apa kalian di sini?” tanya saya antara kaget dan tak percaya.
Monika hanya tersenyum kemudian duduk bersama kami. “Anggap saja ini sureprise buat kamu.” Jawab Monika santai.
“Roni, kamu kayak nggak kenal kami aja. Denger ya, kami itu kalau nggak ditegur makin jadi-jadi. Makanya kalau kamu diam-diam aja kami nggak pernah tahu kalau ternyata selama ini kamu nggak suka kedekatan kami.” Tegur Runa pada Roni.
“Benar. Lagian apa susahnya sih ngomong gitu? Takut kami marah, terus mukulin kamu?” sambung Hendra.
“ Saya nggak pernah melarang hubungan kalian, hanya kalian terlau dekat. Melebihi kedekatan saya dengan Fina.” Jawab Roni jujur.
“Kalian berdua juga sama-sama salah, kayak nggak pernah pacaran aja. Bagaimana kalau seandainya kamu jadi Roni, apa kamu bisa sabar?” Monika menengahi.
Saya hanya bisa tersenyum, ternyata letak permasalahan bukan hanya pada saya dan Roni, tetapi puncaknya justru tertuju pada Hendra dan Runa. Kami sama-sama salah karena tidak pernah mengerti dan memahami perasaan masing-masing. Padahal kami saling menyayangi, tapi tak pernah mau tahu tentang apa yang ada di hati.Saya tahu ini semua siasat Monika agar kami bisa bersatu kembali. Ternyata Monika memang orang yang tepat untuk di jadikan seorang sahabat, karena hanya dialah yang mengerti perasaan kami.
Roni, cowok ganteng yang pendiam. Tapi keberaniannya mengungkapkan isi hatinya di depan banyak orang membuat saya terharu dan sangat mengaguminya. Hingga akhirnya ia benar-benar membuat saya jatuh cinta. Walau pribadi kami jauh berbeda tapi dia cowok baik yang rela bersabar, dami mempertahankan cinta kami.
Hendra dan Runa adalah sahabat saya sejak duduk di bangku SMP, entah mereka serius atau tidak, yang jelas dulu mereka pernah bersaing untuk mendapatkan cinta saya. Walaupun akhirnya hanya bisa bersabar karena cintanya saya tolak. Bagi saya persahabatan kami lebih berharga dari pada harus bertengkar demi memperoleh satu hati yang pada akhirnya membuat orang yang satunya sakit hati.
Sedangkan Monika, sahabat lama saya. Tinggal berdampingan dengan rumah saya. Tak pernah terpisahkan, karena hanya dialah satu-satunya pembangkit semangat saya agar terus maju. Selain itu ia juga gadis yang cantik, tak heran jika banyak yang menawarkannya untuk menjadi pendamping Monika, sebagai seorang kekasih tentunya. Monika memang patut di acungi jempol, kesetiaannya terhadap kekasihnya yang kini berada jauh di Jakarta ternyata tak membuatnya melirik pria lain.
Betapa bahagianya memiliki mereka, kasih sayang kami tak ternilai harganya. Tak dapat dibayar dengan apapun juga, dan semoga semuanya kekal abadi selamanya.
# THE END #
Diposting oleh ☼°•●»ηùε«●•°☼ di 19.50 0 komentar