THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES
Welcome Comments Pictures

Senin, 25 Juli 2011

Welcome to my live, mengutip judul lagu dari “simple plan”, selamat datang di kehidupan gue, yang rada-rada kusut, dan semoga pembaca nggak ikutan kusut. Nama gue nue, singkatnya emang gitu, gue ambil dari nama asli gue, noerhayati, mirip? Mungkin nggak, tapi gue suka dengan sebutan itu, dari pada harus dipanggil yati yang kentara sekali ndeso-nya, atau nur yang bagi gue nama itu terdengar begitu alim, padahal gue sebenarnya nggak alim-alim banget (nggak alim kok bangga, ckckck). Bercerita tentang nama panggilan gue yang singkat padat dan nggak jelas ini, sebenarnya ada kisah tersendiri di baliknya. Actually, di rumah gue, oleh bapak, mama’, adik, kakak, dan seluruh anggota keluarga lainnya gue dipanggil Yati, nama yang menurut gue rada’ katro buat dijadikan nama panggilan itu, atau nur yang oleh teman-teman SMA gue di cap sebagai cewek pendiam, culun, cupu, dan nggak punya semangat pertemanan dan persahabatan. Pandangan tiap orang masing-masing berbeda dengan pola hidup gue, orang rumah boleh bilang gue anak yang rajin, penurut, dan nggak neko-neko. Teman-teman di SMA, men-cap gue bagai boneka, nggak punya arah dan tujuan, pendiam, lugu, culun, nggak suka gaul, dan suka menyendiri. Antara orang rumah dan teman se-SMA nggak jauh beda ketika menilai pola hidup gue, namun keduanya bisa terheran-heran manakala melihat kepribadian gue saat bergaul dengan teman-teman nimbuzzer (nimbuzz: aplikasi chat untuk HP or PC, er: orang-orang.red) tarakan. Berbalik 180 derajat. Gue nggak perlu jelasin gimana kebalikan itu, bayangin sendirilah antonim dari kepribadian gue saat di rumah or di sekolah yang udah gue sebutin tadi. Kurang percaya? Sa’karepmu ndewe, but is me. Gue senang punya dua kepribadian ganda. Meski tak ada hubungannya dengan nama, tapi sejak gue mengganti nama panggilan gue dengan sebutan “nue”, orang-orang mulai mengenal gue sebagai gadis yang nggak bisa diam, rame, dan heboh, dan lucu, dan imut, dan cantik. Ups, maaf untuk tiga kata terakhir itu gue yang ngomong, biasa, hobby suka muji diri sendiri itu muncul sejak rasa percaya diri yang ditularkan oleh teman-teman itu memang suka berlebihan, hahaha…. Okelah, itu sekedar intermezzo, biar pembaca tau siapa gue.
Selanjutnya, pembaca bisa nebak sendiri, apa hobby gue. Yupp, gue seneng banget nulis, entah itu nulis diary, cerpen, puisi, atau nulis tugas kuliah. Apapun yang berhubungan dengan tulis menulis. Diary gue cukup banyak terpajang di lemari, mengisahkan kehidupan gue saat masih beranjak dewasa, puisi? ada, tapi nggak banyak, hanya pernah sekali masuk 10 besar lomba menulis, tugas kuliah? Bukan mahir, cuma iseng, sekaligus melatih otot jari gue, biar nggak keseleo kalau-kalau suatu saat disuruh mijet (nggak nyambung kan!). Tapi untuk urusan cerpen, gue paling hobi, awalnya sih cuma iseng, nggak ada kerjaan, ceritain kisah hidup gue yang nggak pernah heppy dalam urusan cinta, endingnya suram mulu, jadinya gue berinisiatif buat nyiptain kisah hidup gue dengan ending yang bahagia, melawan kodrat. Hahaha…
Bicara tentang cerpen, gue punya trik tersendiri untuk menghasilkan cerita. Copas! Gue emang suka copy paste beberapa kalimat atau kata-kata yang menurut gue antik buat dijadikan acuan, referensi atau inspirasi buat gue melancarkan aksi gue saat berimajinasi menulis cerita, meski tak ada hubungannya sama sekali dalam hidup gue, pun kalau dipikir-pikir nggak terjadi di dunia nyata selama hal itu bisa menggelitik perut, kocak bahkan terlalu crazy buat kisah nyata tetapi bisa buat gue dan pembaca terpingkal-pingkal atau paling tidak nyengir kuda, why not-lah. Amatir memang, meski bukan hal baru bagi gue dalam dunia tulis-menulis mengingat hobi ini sudah lama melekat dan mendarah daging, tapi tetap saja ada kekurangan saat ide brilian itu muncul lantas tiba-tiba buntu di pertengahan jalan karena belum menemukan klimaks dari cerita gue, tak heran dari sekian banyak cerita, cerpen, atau novel yang gue buat, hasilnya cuma klop sekitar 30 judul, belum bisa membanggakan, seperti yang kita tahu, manusia mana ada yang puas, like me, i'm not satisfied dengan kerja keras gue yang hampir sepuluh tahun terakhir hanya bisa menyelesaikan cerpen yang mayoritas berkisah tentang cinta, sisanya islami. mungkin gue terlalu dungu untuk memetik kisah dari hal remeh temeh yang terjadi di sekitar, padahal sering kali gue denger, pesan dari seorang penulis senior, "Daun pun bisa dijadikan acuan untuk membuat sebuah cerita". Amagic memang, banyak kisah yang seharusnya tertuang di kertas, mengurai kisah dan tragedi yang terjadi dalam hidup, bahkan untuk hal kecil pun bisa mengalirkan ide dan cerita yang jika sang penulis kreatif dan inovatif, daun pun "mungkin" bisa mengocok perut, aneh? tentu saja, bagaimana bisa daun beralih profesi menjadi badut, okelah, kita berpikir logis saja, mungkin daun yang dimaksud itu secara tidak sengaja jatuh lantas masuk ke dalam baju seseorang yang kebetulan melintas dekat pohon, singgah di antara perut, hingga secara naluriah, membuat orang itu geli, tertawa, atau hanya tersenyum, atau mungkin kalap, membuat orang-orang yang berada di sekitar ikut tertawa mengira orang tersebut sudah gila. imajinasi gue terlalu jauh barangkali, tapi setidaknya ide untuk membuat cerita dari selembar daun bisa membuat orang tertawa berhasil gue ciptakan. lucu cerita bukan berarti lucu pula untuk dibaca, bisa jadi saat gue berimajinasi dan menciptakan lelucon-lelucon yang menurut gue menggelitik justru jadi garing atau mungkin yang terparah dari itu, basi. terserah para pembaca, apapun itu, bagiku menulis adalah segalanya, stress hilang, gilanya kambuh, akibat dari baca cerita konyol yang gue ciptakan sendiri.
Okelah, kalian boleh bilang gue sinting, gila, mereng, atau bisa rangkap ketiganya dan disingkat SGM, whatever, gue cukup bangga gelar itu mampir dan menyapa gue, karena ternyata hasil dari imajinasi gue bisa mencipakan gelar yang jarang sekali orang enggan untuk mengakuinya, tuh kan, namanya juga gila, jadi dibilang gila juga nggak masalah, aneh gue. Dari cerita gue yang sebenarnya nggak penting, ngelantur dan nggak ada nyambung-nyambungnya ini, satu yang bisa gue pelajari, bakat nulis gue ternyata boleh juga, bisa buat orang gila bertambah banyak, yang kita butuhkan hanyalah sebuah kotak, dan.... imajinasi (maaf ya spongebob, gue copy paste kalimat lo). Well, selamat membaca kisah-kisah gue, yang semoga benar-benar menambah populasi human crazy di seantero indonesia, wew, lebai amat ah, setener apa sih gue sampai-sampai seluruh Indonesia baca buku gue, lagian bisa berabe-lah kalau seantero Indonesia jadi gila gara-gara baca buku gue, offcorse gue yang jadi satu-satunya tersangka atas kasus “Pencucian otak” terhadap Indonesian people yang menyebabkan otak mereka error, dodol, sampai blenk. Nggak lucu kan kalau gue terkenal atas tuduhan dalang dibalik propaganda dan pencucian otak missal yang terjadi di Indonesia. Mulai deh gue, mendramatisir keadaan, hahahaha..... itulah imajinasi gue. Okelah, cukup sampai disini perkenalan kita, simak kisah kusut gue dari awal sampai akhir, yuk kita kemon…

[+/-]

Rabu, 13 Juli 2011

RESTU IBU

Jika bukan karena ibu, ingin saja aku lari dari rumah, mengukuti semua keinginan kakak dan ayah bukan menjadi kebiasaanku, karena bagiku mereka berdua memang tak pernah tahu bahkan tak akan pernah mau tahu apa mauku. Hanya ibu satu-satunya orang yang tak ingin kusakiti. Karenanya, ketika ibu bilang, “Kamu harus mau nduk, demi ibu.” Meski enggan, aku pun tetap harus mau, demi ibu.
Resepsi diadakan dengan meriah, mewah, dan sangat wah. Semua orang bergembira, ayah, ibu, kakak, dan anggota keluargaku yang lain, begitu pula dari keluarga mempelai pria. tak sedikit pun tersirat gurat sedih atau duka, kecuali aku. Karena disini, hanya aku yang menjadi korban. Bukan aku menyalahkan ibu, keinginan menikah memang sudah ku idam-idamkan sejak dulu, tapi bukan dengan orang yang telah dipilihkan ibu. Orang yang sama sekali belum kukenal.
“Bisa kita mulai sekarang?” Tanya penghulu, memulai pembicaraan. Semua mengangguk, kecuali aku, meski hanya dalam hati.
Acara berlangsung khidmat, semua mengucapkan hamdalah begitu para saksi berkata, sah ketika pak penghulu menanyakan sah atau tidaknya pernikahan kami. Ibu memelukku sambil menangis haru, dikecupnya keningku lantas memberiku nasihat panjang yang intinya, semoga keluarga baru yang ku bina bisa menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan warohmah. Meski enggan, dalam hati kuamini ucapan ibu. Karena jujur, aku tak ingin menjalani pernikahan ini dengan setengah hati.
***
Bian, adalah suamiku yang sangat baik, tampan, pandai, ia juga mapan, dan sangat bertanggung jawab tapi entah mengapa meski sudah hampir setahun menjalani pernikahan dengannya, hati ini tak bisa mencintainya. Mungkin aku manusia yang tak pandai bersyukur, ketika wanita mengidolakan dan mengidam-idamkan pria yang baik, mapan, tampan, aku justru menyia-nyiakan. Bukan, Bian tak pernah kusia-siakan, hanya saja pintu hati ini belum terbuka untuk mengukir namanya. I just forget where’s I put that key.
Usia kandunganku kini menginjak bulan ke sembilan, jika tak ada halangan, akhir November nanti aku akan melahirkan anak pertamaku. Tak ada persiapan khusus, Bian menyerahkan segala urusan padaku, ibu dan ibu mertua. Bukannya ia tak peduli padaku, tapi Bian memang tak begitu mengerti segala urusan tentang bayi, karenanya kedua ibuku yang paling antusias dengan kehamilanku, tentang pakaian, peralatan bayi, susu, dan perlengkapan lain. Kecuali satu, tentang nama, Bian ingin agar nama bayinya, apa pun itu, laki-laki atau perempuan, Bianlah yang punya kuasa memberi nama.
“Aku ingin anak kita kelak bisa menjadi anak yang bisa berbakti, anak yang pintar dan bisa diandalkan, kalau dia perempuan bisa jadi wanita yang cantik dan solahah seperti ibunya.” Ucap Bian suatu saat, matanya menerawang sambil sesekali tersenyum.
“Kalau dia laki-laki?” Pancingku
“Semoga bisa menjadi anak yang pintar seperti ibunya.” Jawab Bian santai, tanpa ada unsur menggodaku.
Aku hanya tersenyum menahan malu, aku tahu itu bukan pujian, karena Bian memang tak pandai memuji atau bicara romantis, tapi secara tak sadar ucapannya itu justru membuatku kegeeran sendiri.
***
Perkiraan dokter tentang waktu kelahiranku ternyata meleset, bayiku lahir dua minggu lebih cepat karena air ketubanku pecah saat aku terpeleset di dapur. Ibu memarahi Bian karena tak bisa menjagaku, untungnya aku dan bayiku bisa diselamatkan. Awalnya dokter menyarankan agar kelahiranku normal saja, namun melihat kondisiku yang kritis dan bayiku yang tak kunjung keluar meski sudah pembukaan dua, akhirnya dokter, disetujui Bian dan anggota keluarga lain memutuskan agar Caesar saja. Ketika tersadar, ku lihat Bian sudah berada di sampingku, matanya tirus menandakan ia tak tidur semalaman.
“Mas, mas Bian.” Panggilku saat ia selesai sholat di samping ranjangku.
“Kenapa, Dik?” sahutnya pelan, dibelainya pipiku mesra, “Kamu lapar?”
Aku menggeleng.
“Mas kayaknya capek banget, pasti mas belum ada tidur ya?” tanyaku kawatir.
“Udah, kamu nggk usah kawatir, kamu sendiri bagaimana, udah agak baikan? Perutnya pasti sakit. Ya kan?”
Aku menggeleng untuk kedua kalinya. Bukan karena aku tak kesakitan dengan perutku yang baru beberapa jam lalu di belah. Tapi karena aku tak ingin Bian lebih kawatir.
“Nggak sakit kok, adik kan kuat.” Candaku meski tak lucu. Ia hanya tersenyut kecut, sepertinya masih kawatir dengan kesehatanku.
“Adik istirahat saja dulu, bayi kita masih di ruang incubator. Belum bisa dibawa kemari. Kita berdoa ya semoga bayi kita bisa sehat, supaya bisa ketemu ibunya.”
“Amin. Mas istirahat juga ya. Adik udah nggak apa-apa kok, jelek lihat mas mukanya kusut gitu. Pasti dari kemarin belum mandi. Ya kan?”
Bian cengengesan.
“Iya, nanti mas mandi. Adik istirahat saja lagi.”
Kali ini aku mengangguk. Aku memang masih belum pulih total dari bius, kepalaku masih pusing, dan rasa kantuk menyerang. Ku pejamkan mata, lamat-lamat kudengar suara orang mengaji, pasti Bian.
***

Namanya Nurhayati, putriku yang lahir beberapa hari yang lalu, Bian yang memberi nama, doanya agar kelak anak kami bisa menjadi cahaya kehidupan bagi keluarga kami, kini dan nanti, sesuai nama sang buah hati. Doa itu terkabul, menurutku. Karena tanpa kusadari, putri kecilku adalah penerang hatiku yang setahun ini membeku, mungkin aku belum mencintai Bian sepenuhnya, tapi jauh di lubuk hati ini, Bianlah satu-satunya pria yang sangat kusayangi. Karena ia selalu ada untukku.
Putri kecilku adalah hadiah terindah dari Bian, dan Allah membuka mata hatiku lewat sang buah hati. Terima kasih, anakku, terima kasih suamiku tersayang, terima kasih Tuhan.
“Dik, lagi buat apa?” Tanya Bian mengagetkanku. Cepat-cepat kututup diary kesayanganku. Bian duduk di sampingku, lantas mengecup keningku penuh kasih sayang. Kurasakan kedamaian di hati, kuakui kini pria ini memang hadiah paling dari ibu untukku.
“Lagi nulis, mas sudah makan?” Tanyaku perhatian,
“Sudah, tadi mas singgah ke rumah ibu. Masakan ibu kamu emang the best.” Puji Bian kemudian mengacungkan kedua jempolnya. Sepertinya Bian tersadar ketika aku hanya meresponnya dengan senyuman kecil. “Masakan adik juga nggak kalah enak kok.” Lanjutnya.
“Mas bisa saja. Tapi adik ngerasa nggak enak, nggak bisa masak buat mas lagi”
“Sementara sayang, mas yakin, suatu saat adik bisa sembuh dan bisa masak buat mas lagi.” Ujar Bian menyemangatiku.
Dalam hati aku hanya bisa mengamini, meski aku sendiri tak yakin. Sejak melahirkan, aku jadi lumpuh, hanya organ tubuhku bagian atas yang bisa berfungsi. Sedangkan kakiku tak dapat digerakkan sama sekali. Hari-hariku hanya ditemani kursi roda. Bian tak pernah menyerah untuk terus menyemangatiku. Tak pernah ia berhenti berdoa untukku. Karena baginya, aku adalah bintang hidupnya, dan bagiku, dia adalah penerang hidupku.

END


[+/-]