THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES
Welcome Comments Pictures

Rabu, 29 Desember 2010

Cerita Islami "Diana Oh Diana…!!!"

Aku tertegun!
Diana, sahabat kecilku dulu kini menjelma bagai bidadari. Ia begitu cantik, dewasa dan sangat menawan hatiku. Tatapan matanya yang lembut, dan senyumnya yang manis membuat siapa saja pasti akan berdecak kagum, betapa gadis di hadapanku ini benar-benar sempurna. Mungkin dulu Diana memang sama cantiknya seperti sekarang, hanya aku yang tak pernah menyadari, satu hal yang pasti bedanya, sekarang Diana sudah berjilbab. Lebar. Terakhir bertemu sekitar tujuh tahun lalu, ketika masih sama-sama duduk di bangku SMA. Hingga akhirnya harus berpisah karena aku harus ikut orang tua ke Jakarta.
“Apa kabar, Bang?” tanya Diana membangunkanku dari kenangan masa lalu.
“Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri bagaimana kabarnya?” tanyaku masih menyembunyikan rasa kekagumanku.
Ia tersenyum, tapi tak berani menatapku.
“Baik juga. Masuk dulu yuk.” Ajaknya mempersilahkanku masuk. Aku menangguk pelan, kemudian mengikutinya dari belakang. Setelah tiba di ruang tamu yang cukup luas, aku pun dipersilahkan duduk sementara Diana ke dapur menyiapkan minuman.
Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan, aku terhenyak manakala mataku tertumpu pada sebuah pigura besar di dinding dekat televisi. Sebuah foto pernikahan yang sangat kukenal mempelai wanitanya, Diana.
“Di minum Mas.” Diana mengagetkanku.
“Eh, iya. Terima kasih.” aku terdiam sejenak, hingga akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya, “Kapan kamu nikah? Kok abang nggak diundang?”
Diana tak segera menjawab. Masih dengan kepala tertunduk dan sesekali melihat ke sekeliling tanpa ada keberanian menatap mataku secara langsung. Ku lihat rona wajahnya berubah murung, meski ia mencoba menyembunyikannya, tapi aku sangat hafal wajah sendu itu.
“Diana, ada apa? Apa aku salah bertanya?”
Ia menggeleng pelan. Air matanya berjatuhan setetes demi setetes, isak tangis mulai terdengar dari bibir mungilnya. Aku jadi tambah bingung, ada apa gerangan dengan pernikahannya hingga ia jadi sesenggukan begini.
“Diana.” Tegurku lagi, aku tak tahu harus berbuat apa. Ingin rasanya aku memeluknya, meringankan bebannya, tapi ia bukan muhrimku, tak halal bagiku menyentuhnya. Diana masih terus menangis, meski sudah tak sederas tadi.
“Lima tahun lalu, tapi sudah tiga tahun mas Irwan pergi, dan tidak pernah pulang.” Ia menjelaskan.
Sekali lagi aku terhenyak. Bukan karena Diana menikah tanpa mengundangku, melainkan karena musibah yang menimpanya, tega sekali suaminya meninggalkan istri sebaik Diana tanpa ada kabar.
“Oh, maaf. Kamu yang sabar ya. Abang yakin, suami kamu pasti pulang.” Hiburku meski dalam hati aku mengutuk suaminya yang sama sekali tak punya perasaan itu.
“Nggak mungkin, dia kabur dengan perempuan lain.” Diana kembali terisak, aku tahu hatinya sakit mengingat perbuatan suaminya.
“Sudah.. sudah.. jangan nangis lagi, aku nggak tega liat kamu sedih gitu. Kamu yang tabah saja, abang yakin, dibalik semua ini, akan ada hikmah luar biasa yang Insya Allah memberi kebahagiaan buat kamu. Allah punya misteri yang tidak kita duga-duga.” Ujarku sebijak mungkin, setidaknya aku yakin ucapanku benar. Wallahualam, siapa yang tahu nasib seseorang.
Diana mengangguk. Tersungging senyum tipis di bibirnya. Alhamdulillah.
“Ibumu mana? Kok nggak keliatan dari tadi?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, paling tidak ia tak kepikiran lagi tentang suaminya.
“Ibu pindah ke Jakarta, ikut nenek.”
“Jadi kamu sendirian di sini?”
Diana mengangguk.
“Kenapa nggak ikut ibu kamu saja, dari pada sendirian, resikonya besar, nggak ada yang jagain kamu.”
“Nggak ada yang jaga rumah, ibu nggak mau jual rumah ini, wasiat dari bapak gitu, lagi pula aku masih berharap mas Irwan bakal pulang. Kalau aku ikut pergi, lalu mas Irwan pulang, aku khawatir ia akan sulit menemukanku.”
Aku mendesah pelan, heran, padahal sudah dikhianatin, ditinggal dan dikecewakan, tapi kenapa Diana masih rela menunggu?
“Kamu sangat mencintainya, Diana?” Tanyaku penasaran.
Lagi-lagi ia terdiam.
Goblok, tentu saja Diana masih mencintai suaminya, bukan cintakah namanya kalau ia masih berharap suaminya pulang. Bodohnya aku.
“Malam ini abang nginap dimana?” Diana mengalihkan pertanyaanku.
Aku maklum, mungkin ia enggan untuk menjawab pertanyaanku.
“Entahlah, mungkin di rumah pak RT. Hehehe…” Jawabku asal.
Diana hanya tersenyum kecil mendengar guyonanku, sepertinya memang tidak lucu, pikirku keki.
“Sudah sore, aku pamit pulang dulu ya, nggak enak juga lama-lama disini. Lagipula aku harus siap-siap, pesawatku berangkat jam tujuh nanti.”
“Kenapa nggak nginap saja? Diana masih pengen ngobrol banyak sama Abang.” Keluhnya.
“Aku kan cuma transit saja, Diana. Kerjaanku juga nggak bisa nunggu, tapi insya Allah kalau sempat, bulan depan mampir lagi. Kebetulan aku dapat proyek di sini.”
Diana mengangguk, “Baiklah, abang hati-hati ya. Kabari Diana kalau sudah tiba di Jakarta.”
Aku pun pamit pulang dengan berat hati tentunya, karena jujur aku masih sangat merindukannya. Kalau bukan karena pekerjaan, ingin saja aku berlama-lama di sini. Kembali mengenang masa lalu tentang masa kecil kami dulu. Mengenang bagaimana dulu aku pernah mencintainya diam-diam, bahkan hingga sekarang. Meski tak yakin, tapi ketika mengetahui Diana sudah menikah, betapa hati ini miris, trenyuh dan sedih, apalagi melihat kejadian yang menimpanya, ingin rasanya aku menggantikan posisi suaminya, tentu saja bukan karena kasihan, tapi karena aku sayang padanya, ingin menjaganya. Namun ironisnya hal itu takkan mungkin terjadi, Diana masih sangat mencintai dan mengharapkan suaminya.
***
Tiga minggu sudah aku di Jakarta, masih ada seminggu lagi untuk aku bisa menemui Diana. Rasanya sudah tidak sabar ingin kembali ke kampung halaman, tempat aku dan Diana pernah tumbuh bersama. Mungkin aku tak akan seantusias ini andai saja Diana tak pernah menghubungiku lagi, tapi sejak pertemuan hari itu, kami jadi lebih sering berkomunikasi, kami juga saling berbagi, aku benar-benar menemukan sahabatku yang dulu, sahabat dimana aku bisa menumpahkan segala keluh kesahku, tempat berbagi duka dan suka, meski jauh di lubuk hati ini menyimpan harapan agar hubungan ini tak hanya sekedar sahabat.
Masih kuingat jelas bagaimana Diana mengutarakan isi hatinya dengan penuh haru seminggu yang lalu, “Abang satu-satunya penyemangat hidup Diana, paling tidak, sekarang Diana nggak kesepian lagi, ada teman curhat. Syukron ya.”
Diana, andai saja kita tidak berpisah dulu, mungkin saja akulah yang berkesempatan menjadikanmu bidadari hidupku.
Telepon yang mendadak berdering membuyarkan lamunanku, sedikit membuat jantungku nyaris copot, suara dering telepon yang terus menderu memintaku untuk segera mengangkatnya.
“Assalamualaikum.” Sapaku, siapa gerangan yang menelpon malam-malam begini. Sepertinya dari telepon rumah atau kantor.
Hanya isakan tangis yang terdengar. Tapi rasanya menghujam jantungku seperti sebuah belati. Aku kenal sekali suara itu.
“Bang.”
Diana.
“Bang, tolong Diana.” Isakan itu semakin menyayat hati. Darahku mengalir lebih cepat.
“Ada apa Diana, kenapa nangis?” tanyaku heran dan kebingungan.
“Mas Irwan pulang,” Diana terdiam sejenak, aku menunggu meski hati ini teriris pedih, “Ia bersama perempuan itu, Ana dikurung di kamar. Tolong Ana, Bang. Ana tak tahu harus minta tolong pada siapa lagi.” Diana menangis sejadi-jadinya membuat darahku naik hingga ke ubun-ubun.
“Kok bisa nelpon?”
“HP Ana disita, tapi mas Irwan nggak tau kalau kamar ini ada pasang telepon.” Hanya itu yang sempat kudengar karena setelah itu telepon tiba-tiba mati. Mungkin Irwan tahu Diana menelpon.
Pagi-pagi sekali aku sudah membeli tiket pesawat, perkiraan dua jam aku sudah tiba di sana, semoga saja Diana tak apa-apa. Resah hati ini membayangkan Diana yang sedang dikurung di kamarnya sendiri.
Pukul sepuluh pesawat tiba, bergegas aku segera menuju rumah Diana dengan tergesa-gesa.
Aku tiba di rumah Diana, dan langsung naik pitam begitu mendapati suami Diana sedang asik bermesraan dengan gadis lain, entah keberanian dari mana, begitu cepat waktu berlalu, aku berkali-kali memukul wajah Irwan dengan kalap.
“Dimana kau sembunyikan Diana?” tanyaku geram, Irwan yang sudah berlumuran darah hanya bisa menunjuk ke dalam rumah. Aku segera masuk kemudian mencari-cari kamar Diana, betapa kagetnya ketika kudapati Diana sedang terbaring di lantai, ia terlihat lemah. Kuhampiri Diana, dan mengangkatnya ke ranjang, kalau Diana tahu aku menyentuhnya, mungkin ia akan sangat marah, tapi aku terpaksa, aku tahu ia bukan muhrimku. Mungkin dunia punya sejuta alasan untuk mengutukku, tapi aku punya sejuta alasan untuk melakukannya. Untungnya Diana hanya pingsan.
***
Tak terasa, tragedi itu sudah setahun berlalu. Diana dan Irwan resmi bercerai. Irwan dan selingkuhannya diusir dari kampung karena perbuatannya dan sedangkan Diana ikut ibunya ke Jakarta. Rumahnya di kampong disewakan. Tentu saja hal itu membuatku senang. Kesempatan itu akhirnya terbuka juga.
Enam bulan yang lalu aku dan Diana menikah, tentu saja karena kami sama-sama saling mencintai. Dan yang paling utama, kami karena kami sama-sama membutuhkan. Tak susah memperoleh restu dari ibunya, karena aku sudah cukup di kenal di keluarga Diana sejak dulu. Alhamdulillah, semua mendukung kami. Kecuali Irwan tentunya. Entahlah, sekarang ini aku tak punya cukup waktu untuk memikirkan dimana atau bagaimana keadaannya sekarang, karena perhatianku hanya untuk Diana, dan si jabang bayi yang masih berumur tiga bulan. Tak pernah kumerasa sebahagia ini, Terima kasih ya Allah.
END

[+/-]

It's me Nue: Cerpen Islami "Diana Oh Diana…!!!"

Baca Selengkapnya...

[+/-]